THE FREEDOM WRITERS


THE FREEDOM WRITERS                                        INDONESIA

 

      Film ini dibintangi oleh Hillary Swank dan di sutradarai oleh Richard 
LeGravese. Film ini diangkat dari kisah nyata yang juga di bukukan dengan judul 
The Freedom Writers Diary.   Film ini berlatar tahun 1994 di Woodrow Wilson 
High School di Long Beach, Amerika Serikat. Seorang guru, Erin Gruwell yang 
pertama kali mengajar dan mendaftar sebagai guru bahasa inggris di Wilson High tersebut. 
Dia harus mengajar di kelas baru dimana murid-muridnya sangat beragam ras : Asia, Latin, 
White and Black. Anak-anak tersebut pun sebenarnya tidak menginginkan untuk bisa sekolah,
namun karena kewajiban distrik disana akibat integrasi, mereka akhirnya mau ke sekolah. 
Sekolah Wilson tadinya sekolah yang sukses melahirkan murid-murid yang berprestasi sebelum
akhirnya terjadinya kerusuhan antar ras di Amerika pada tahun 1992 tepatnya di Los   Angeles.
Kerusuhan Los Angeles (LA Riots) itu mengakibatkan kurang lebih 50 orang tewas dan 
kerugian US$ 1 Billion. Kerusuhan itu juga merupakan
rentetan kejadian rasial dari Rodney King seorang black African-American yang berprofesi 
sebagai supir taksi yang mengalami kekerasan oleh polisi setempat (LAPD) yang berkulit putih. 
Komentar Rodney King dalam kerusuhan itu yang terkenal adalah Can we just get along?. Rentetan 
kerusuhan-kerusuhan rasial tersebut yang sampai saat itu masih menimbulkan permasalahan disana. 
      Kelas bahasa inggris tahun pertama di Wilson High tersebut berada di ruang 
203. Murid-murid Erin Gruwell bukanlah murid biasa. Mereka di sebut murid yang 
tidak dapat diajar dan tidak beretika. Mereka adalah anak-anak yang tumbuh dari 
lingkungan yang penuh kekerasan. Mereka dengan rasnya masing-masing setiap harinya mesti 
bertahan hidup dan mempertahankan daerahnya masing-masing. Itu merupakan tantangan 
tersendiri bagi Erin Gruwell. Murid-muridnya ke sekolah bukan karena keinginan mereka 
sendiri namun pilihan yang terpaksa di pilih dari 2 pilihan yang mereka dapat, mau ke 
penjara atau pergi ke sekolah?
Di awal mengajar, Erin masih mengalami kesulitan dalam mengajar karena 
murid-muridnya sering berkelahi di kelas dan di sekolah juga sering terjadi 
kerusuhan antar geng. Murid-muridnya pun bertaruh, sampai seberapa lama guru mereka 
bisa bertahan mengajar di kelas itu. 
Keadaan mulai berubah saat suatu hari dikelasnya beredar sebuah karikatur 
yang menggambarkan seorang black African-American yang memiliki mulut yang 
tebal. Gambar itu beredar di kelasnya yang pada akhirnya diketahui oleh Erin. 
Erin sangat marah saat itu dan membandingkan gambar karikatur itu dengan gambar 
karikatur yahudi dengan hidung besarnya yang beredar saat terjadi peristiwa Holocaust. 
Namun ternyata murid-muridnya tak satu pun yang mengetahui tentang apa itu Holocaust. 
Namun ketika ditanya apakah mereka pernah di tembak, hamper seluruh muridnya 
mengacungkan tangan. Akhirnya dari situ Erin mengubah caranya mengajar dengan mulai 
mendekati muridnya dan mengajarkan pada mereka mengenai toleransi. Demi murid-muridnya, 
Erin sampai rela bekerja di akhir pekan, Erin sampai memiliki 3 profesi selain menjadi guru 
demi mencari tambahan untuk mengajar murid-muridnya karena pihak sekolah tidak 
mendukung kreatifitas Erin dalam mengajar Suatu waktu Erin memberikan murid-muridnya 
buku harian. Erin meminta murid-muridnya untuk menulis setiap kejadian dalam hidup mereka 
setiap hari. Mereka bisa menulis tentang apa saja. Yang mereka sukai atau yang mereka 
benci. Mereka bisa menulis lagu, puisi, cerita atau apa saja, yang penting mereka harus 
menulis setiap hari. Tulisan itu tidak akan di nilai karena menurut Erin kebenaran itu tidak 
dapat dinilai karena apa yang mereka tulis adalah sebuah kebenaran. Dan jika murid-muridnya 
menginginkan tulisannya di baca oleh Erin, mereka dapat meninggalkan buku hariannya 
itu di sebuah lemari yang akan di buka saat pelajaran dan selesai kelas akan dikunci. Erin 
memastikan tidak akan ada yang bisa membaca tulisan mereka selain dirinya. Dan ternyata, 
seluruh muridnya, meninggalkan buku hariannya untuk bisa di baca Erin. Erin pun mulai 
membacanya satu persatu. Dan tulisan murid-muridnya tersebut membuat Erin terkejut 
karena ternyata murid-muridnya setiap harinya harus berlarian hidup melawan maut yang 
senantiasa mengintai mereka. Dari kecil mereka sudah terbiasa melihat dan mengalami 
kekerasan akibat perang rasial yang terjadi disekitar lingkungannya. Erin sangat terharu 
mengetahui betapa keras kehidupan murid-muridnya. 
Suatu hari Erin pun mengajak murid-muridnya untuk bertemu dan berdialog 
dengan para korban Holocaust. Agar mereka bisa mengetahui betapa banyak orang lain 
yang juga mengalami kekerasan dalam hidupnya. 
Erin juga membelikan setiap muridnya buku dari hasil pekerjaan sampingannya. Karena 
pihak sekolah juga tidak membiarkan Erin untuk meminjamkan buku-buku diperpustakaan 
sekolah kepada murid-muridnya karena pihak sekolah takut jika buku-buku itu rusak ditangan 
murid-murid Erin. Erin membelikan setiap muridnya buku The Diary of Anne Frank dan Zlata
Diary : A Childs Life in Sarajevo. Anne Frank seorang gadis remaja korban Holocaust yang 
menuliskan setiap kejadian dalam hidupnya dalam sebuah diary. Anne Frank dan keluarganya 
sampai mengungsi ke Amsterdam Belanda dari kejaran Nazi Jerman saat terjadi peristiwa 
pembantaian kelompok Yahudi di Eropa saat perang dunia II oleh Nazi Jerman. Begitupun 
Zlata yang juga harus sama berjibaku dengan kekerasan di sekelilingnya. Erin memberikan 
buku-buku itu pada murid-muridnya agar murid-muridnya bisa belajar bahwa ada juga orang 
lain di belahan bumi lain yang juga mengalami hal yang sama bahkan lebih kejam daripada 
yang dialami oleh murid-muridnya. 
Suatu hari Erin juga membawa murid-muridnya mengunjungi Museum Toleransi. Disana 
murid-muridnya bisa belajar mengenai toleransi karena mereka hidup dengan orang yang 
beraneka ragam suku, agama dan juga ras. Museum Toleransi ini keren sekali. Pada saat 
masuk setiap orang akan diberikan sebuah foto anak kecil dan saat keluar dari museum, 
mereka akan mengetahui apakah anak tersebut selamat atau mati. 
Suatu saat murid-murid Erin menginginkan untuk bisa menghadirkan Miep Gies, seorang 
wanita yang memberikan perlindungan kepada keluarga Anne Frank semasa perang dunia II 
dari kejaran Nazi Jerman. Miep Gies masih hidup dan tinggal di Amsterdam Belanda. Untuk 
mendatangkan Miep Gies dari Belanda ke Amerika, murid-muridnya mengumpulkan dana 
dengan membuat bazaar di sekolahnya. Akhirnya akibat usaha keras murid-muridnya, Miep 
Gies pun bisa datang ke Amerika. Sebelum mendatangkan Miep Gies, Erin telah menugaskan 
murid-muridnya untuk menulis surat ke Miep Gies setelah mereka selesai membaca buku The 
Diary of Anne Frank. Surat-surat dari murid-muridnya itupun telah dikirimkan Erin dan telah di 
baca oleh Miep Gies sebelum dia datang ke Amerika. Murid-muridnya akhirnya bisa bertemu 
langsung, berdialog dan sharing dengan wanita itu. Apa yang dilakukan Erin sangatlah 
mengagumkan. Hampir seluruh waktu Erin curahkan untuk murid-muridnya. Namun sayang, 
karena hal tersebut, Erin terpaksa harus bercerai dari suaminya karena menurut suaminya, 
Erin lebih memperhatikan murid-muridnya di bandingkan suaminya. 
Namun apapun yang terjadi, Erin tetap berusaha tegar. Erin tetap menginginkan yang 
terbaik bagi murid-muridnya. Murid-muridnya pun menginginkan untuk bisa terus diajar oleh 
Mrs. G (Mrs. Gruwell, red), panggilan murid-muridnya untuk Erin sampai selesai  High School
Walaupun sempat mengalami kesulitan karena keinginan murid-muridnya itu ditentang oleh 
pihak sekolah karena Erin dianggap masih guru baru. Namun dengan perjuangan akhirnya,  
Erin bisa mengikuti mengajar murid-muridnya sampai selesai sekolah. Erin pun mengadakan 
proyek lagi. Murid-muridnya diminta untuk menuliskan diari mereka ke komputer untuk 
selanjutnya akan di jadikan buku dan diterbitkan. Dari Diary murid-murid ruang 203 itulah 
lahir buku The Freedom Writerss Diary dan film Freedom Writers. Seluruh murid Erin bisa  
selesai  High School dan juga melanjutkan ke Universitas. Mereka terus berhubungan sampai 
sekarang dan tetap mempertahankan kebersamaan, kekeluargaan dan toleransi mereka 
sewaktu didalam kelas
high school yang beragam ras itu. Mereka murid-murid Erin- menyebut diri 
mereka Freedom Writers. Bahwa dengan menulis mereka bisa merubah diri mereka sendiri, 
keluarga dan lingkungan mereka bahkan bisa merubah dunia. Bersama Erin mereka akhirnya 
membentuk sebuah yayasan bernama Freedom Writers Foundation. Yayasan itu bergerak 
untuk memberikan metode pembelajaran yang lebih baik di sekolah berdasarkan toleransi. 

0 komentar:

Post a Comment